Bre Redana
Mengapa Kurt Cobain mati? Tukang listrik yang hendak memasang sistem pengaman di rumahnya menemukan si tuan rumah tergeletak tewas di lantai dalam genangan darah. Dikabarkan kemudian, ia mengonsumsi heroin dalam dosis mematikan, dan menuntaskan pekerjaannya dengan menembak kepalanya sendiri dengan Remington 20.
Yang kenal dengan kehidupan macam ini tak terlalu kaget. Cobain, tulang punggung band paling berpengaruh di tahun 1990-an, dalam setiap geraknya terus dikuntit media. Beride melawan kemapanan, ia bahkan melawan istilah counter culture itu sendiri. Gerakan hippies baginya telah tergadai. Maka seperti dikutip di buku The Rebel Sell ia berujar: aku akan mengenakan kaus cetak celup kalau celupannya adalah darah Jerry Garcia. Jerry Garcia dari Grateful Dead adalah ikon counter culture.
Cobain ingin membebaskan diri dari proses komodifikasi lewat musik alternatifnya. Persoalannya, apa pun karyanya laku di pasar dan segera terserap menjadi mainstream. Album Nevermind-nya pada waktu itu bahkan melampaui penjualan album
Michael Jackson. Ia mencoba berbalik ke arah lain. Tetap saja publik mengelu-elukan. Tak ada tempat lari. Rousseau bilang: manusia lahir bebas, tetapi terbelenggu di mana-mana. Itulah tragedi nasib manusia seperti dibabar oleh filsafat romantik.
Kehampaan akibat modernisme dengan rasionalisme dan intelek telah melahirkan reaksi luar biasa. Romantisisme—gerakan yang mendominasi imajinasi artistik sepanjang abad ke-19—menerima nihilisme sampai titik terendah: kematian. Di sebelah jasadnya, Cobain meninggalkan nota: better to burn out than fade away (lebih baik habis terbakar daripada surut).
***
Putri Diana tewas dalam kecelakaan mobil di Paris tahun 1997, mengalami nasib serupa. Diana, guru TK sederhana yang bacaannya barangkali Barbara Cartland, dinikahi pangeran, kaya raya, terkenal. Dunia mengidamkan cerita Cinderella seperti ini.
Bagaimana Diana menjalani peran sebagai Cinderella? Perkawinannya bubar karena sang pangeran ternyata kurang mencintainya. Sementara sang putri telanjur menjadi tahanan kekayaan dan popularitasnya sendiri, menjadi mangsa uberan para juru foto dan pers.
Drama ini lengkap ketika publik mendapati sang putri menclok ke seorang lelaki dengan reputasi play boy bernama Dodi al-Fayed. Berdua, mereka bermesraan di Paris. Paparazzi terus menguntit. Akhir dari drama itu berupa terjungkalnya mobil yang ditumpangi Diana dan Dodi di sebuah terowongan, menewaskan keduanya.
Tak kalah tragis nasib Michael Jackson. Industri hiburan dengan basis antusiasme publik telah mengubah Jackson dari anak kandung biologis manusia menjadi anak kandung kebudayaan massa. Transformasi sampai ke fisik dengan operasi bedah plastik yang diakuinya dilakukan beberapa kali. Tidur di tabung oksigen. Ia hidup reklusif di dunia mimpi yang dibangunnya sendiri bernama Neverland. Ia telah hidup di dunia ilusi.
***
Kehidupan yang ilusif telah tecermin deras dari berbagai karya seni dari sastra sampai film—kalau kita menguak sejarah gerakan romantisisme tadi. Cerita manusia-manusia yang teralienasi bukan saja dari lingkungan, tetapi juga dari diri sendiri.
Contoh klasik antara lain karya Flaubert, Madame Bovary. Dunia tak lagi bisa memuaskan Emma Bovary. Pencariannya lewat novel-novel picisan serta petualangan asmara tak membawanya ke mana-mana, kecuali bahwa dia makin tidak bisa membedakan mana mimpi mana realitas. Matilah dia bunuh diri.
Kegamangan menghadapi hidup bisa menimpa siapa saja. JD Salinger mengungkapkannya lewat The Catcher in the Rye yang pernah menjadi buku terlaris di Amerika, dan semacam ”bacaan wajib” Generasi Bunga. Yang digambarkan di situ adalah kedangkalan remaja lelaki bernama Holden Caulfield.
Bergentayangan di New York, kepada siapa saja dia bertanya-tanya: ke mana angsa-angsa di Central Park ketika danau membeku. Sudah seperti tak ada lagi yang penting di dunia. Maka, itulah pertanyaan paling ”filosofis” dari manusia kota besar: apakah angsa-angsa itu terbang entah ke mana, atau ada orang yang mengangkut dan membawanya ke kebun binatang?
***
Kalau dunia teks yang pembacaannya linier saja bisa menghantarkan manusia terpental pada kekosongan, bagaimana dengan kebudayaan visual, dunia jejaring yang sifatnya multimessage, pesan dan berita berlapis-lapis? Dari suatu teknologi yang disebut multimedia? Makin tak jelas mana mimpi mana kenyataan.
Itulah tontonan sehari-hari kita, atau bahkan kehidupan sehari-hari kita. Lewat reality show, kita sama-sama dibalut mimpi bahwa hidup bisa berubah seketika. Seseorang dari pinggir jalan tiba-tiba masuk orbit perbintangan yang terang benderang berkilauan. Dari situ ada pula yang terlempar lagi keluar, melata di jalan lagi. Yang terakhir itu tak terliput karena bukan bagian dari impian.
Yang dinikmati orang adalah gebyar. Industri secara sadar merekayasa gebyar. Tanyalah kepada mereka yang dekat dengan dunia hiburan. Figuran-figuran cantik yang muncul entah di TV atau film banyak yang harus kos atau tinggal di gang-gang sempit di Jakarta. Ada produser yang melarang mereka makan di warteg pinggir jalan demi menjaga citra. Padahal, untuk makan di hotel berbintang agak susah, kecuali ada oom-oom mengajak.
Terhadap dunia teks yang konon telah mendaratkan manusia pada keniscayaan modernisme termasuk beberapa ekses alienasi, betapapun umat manusia berutang taruhlah pada isme semacam nasionalisme. Benedict Anderson menelusur rasa kekomunitasan yang kemudian menjadi rasa kebangsaan, terbentuk karena teks. Itu yang bisa kita baca lewat Imagined Communities.
Nyatanya, tak ada isme yang begitu kuat, yang mengikat kita, bahkan yang membuat orang rela mati atasnya, kecuali nasionalisme. Banyak makam pahlawan tak dikenal, dengan di bawahnya kita tahu ada yang terbujur mati atas nama nasionalisme. Adakah isme sekuat ini? Adakah makam tak dikenal untuk mereka yang mati karena konsumerisme, misalnya?
***
Kita bisa benar-benar tak tahu atau pura-pura tak tahu mengenai hal itu. Yang jelas, kita membutuhkan figur yang bisa kita pas-paskan untuk menyenangkan diri kita, dari dunia yang tak kita pahami. Dari Nike Ardila sampai Mbah Surip kita subyo-subyo dengan mengilusikan hidupnya sebagai penuh perjuangan. Soalnya, belum ada pusara yang bisa mengganti istilah pahlawan tak dikenal dengan ide lain yang lebih spesifik untuk zaman yang berubah ini. Kita semata-mata butuh tumbal untuk menghidupkan nilai-nilai yang kita anggap ideal.
Sekarang kepercayaan kita kepada sendi-sendi kehidupan yang kita anggap luhur goyah. Kita sama-sama tak percaya bahwa anggota DPR yang studi banding ke Yunani, sepulang dari sana akan jadi Socrates. Sama kurang yakinnya kita kalau semua anggota DPR dikirim ke Harvard, semua akan jadi seperti Dr Arief Budiman. Yang lebih mungkin mereka pulang dengan mengenakan T-shirt bertulis Harvard University.
Di tengah kancah kehidupan seperti ini Merapi meletus. Mbah Maridjan, orang desa lugu yang dikultuskan media, tewas terpanggang awan panas. Sejak beberapa waktu terakhir, dia bersifat menghindari orang, apalagi media massa. Ia telah teralienasi, mungkin seperti diekspresikan Sartre dalam Huis Clos: orang lain adalah neraka.
Yang mengepung Mbah Maridjan waktu itu jangan-jangan bukan hanya awan panas yang disebutnya wedus gembel. Wedus gembel itu boleh jadi adalah kita semua....
sumber :http://oase.kompas.com/read/2010/11/07/11392670/Kita.Semua.Wedus.Gembel
0 komentar:
Posting Komentar
jangan Lupa Commentnya...yua....